Ilustrasi Kaligrafi Muhammad. foto/istockphoto

Pada momen ketika Nabi Muhammad lahir, jazirah Arab diimpit oleh dua kekaisaran: Romawi dan Persia. Keduanya memperebutkan wilayah Hijaz di Timur Tengah yang waktu itu belum terkuasai. Romawi yang saat itu dalam kekuasaan Kekaisaran Byzantium menjadi pusat agama Kristen Timur atau Kristen Ortodoks, sementara Persia di bawah Kekaisaran Sasaniyah memiliki rakyat dengan mayoritas penganut Zoroaster.

Nabi Muhammad lahir di Makkah pada 571 M atau sekitar 1550 tahun lalu. Dalam khazanah Islam, tahun kelahiran Nabi Muhammad dikenal dengan “Tahun Gajah” yang menandai momen penting ketika raja vasal Ethiopia di Yaman, Abrahah bermaksud meratakan bangunan Ka’bah. Pasukan ini bertolak menuju Makkah dengan membawa gajah. Ka’bah nyatanya tak pernah runtuh, dan pasukan Abrahah dihujani batu yang dilempar burung ababil, demikian dikisahkan dalam sumber-sumber resmi Islam.

Penamaan Tahun Gajah didasarkan pada pasukan bergajah yang dibawa Abrahah al-Asyram untuk meratakan Ka’bah. Ada beberapa alasan Abrahah berniat demikian. Ia membangun gereja megah di Sana’a yang diberi nama al-Qalis dengan harapan dapat menjadi tempat ibadah haji terbesar di seluruh Arab, menyaingi Makkah.

Hal ini mengundang kemarahan suku yang tersebar di Hijaz dan Najd. Seseorang dari suku Kinanah, yang punya hubungan nasab dengan Quraisy, meruntuhkan gereja itu. Abrahah geram dan bersumpah meratakan Ka’bah.

Mengetahui kejadian itu Abrahah pun murka. Abrahah pun mendapatkan laporan yang melakukan pengerusakan Al Qullais adalah seorang Arab yang tinggal tak jauh dari Ka’bah. Peristiwa itu membuat Abrahah semakin membenci keberadaan Ka’bah dan berniat menghancurkannya. Meski demikian, terkait pemicu penyerangan Ka’bah ini terdapat sejumlah riwayat yang berbeda.

Abrahah yang sudah menghiasi rumah sucinya sedemikian rupa, berhadapan dengan kenyataan: orang-orang Arab hanya berniat ziarah ke Mekkah. Mereka menganggap ziarah tidak akan sah jika tidak ke Ka’bah. Abrahah kemudian mengambil keputusan menyerang Mekkah. Dia sendiri tampil paling depan di atas seekor gajah besar.

Dr Jawad Ali dalam Sejarah Arab sebelum Islam menuliskan sejumlah latar belakang yang menjadi pemicu terjadinya serangan ke Mekkah. Misalnya Al Qurtbi yang berkata kebakaran Al Qullais menjadi alasannya karena beberapa orang Quraisy yang pergi ke wilayah Najasyi menyalakan api untuk memasak dan lupa mematikannya. Api tersebut kemudian membakar Al Qullais.

Sebagian riwayat lain menyebutkan penyerangan ke Ka’bah dimulai dari penjarahan pasukan Abrahah di Thaif. Orang-orang Thaif yang tertindas menunjukan Ka’bah sebagai bangunan yang paling dihormati, orang yang bisa menaklukannya maka sempurnalah kekuasaannya.

Suku-suku Quraisy, yang ketika itu secara de facto dipimpin oleh Abdul Muthalib, tidak melakukan perlawanan. Mereka bukan lawan seimbang untuk bala tentara Abrahah. Di sisi lain, Abrahah melalui utusannya menekankan, dirinya tidak ingin berperang, hanya menghancurkan Ka’bah. Selama tidak ada bentrok, maka tidak akan ada pertumpahan darah. Abdul Muthalib diriwayatkan bertemu dengan Abrahah di perkemahan sang penguasa Yaman.

Namun, Abdul Muthalib justru hanya meminta 200 ekor untanya yang dirampas pasukan Abrahah dalam perjalanan ke Makkah. Ini membuat Abrahah kecewa, karena ia menganggap pimpinan suku Quraisy tidak berniat melindungi Ka’bah. Abdul Muthalib berkata, “Aku pemilik unta-unta itu, sementara Ka’bah ada pemiliknya sendiri yang akan melindunginya”. Abdul Muthalib menasehati orang-orang Makkah untuk pergi ke lereng-lereng bukit, menghindari pasukan Abrahah, sembari mencari tempat untuk menyaksikan apa yang akan terjadi di kota esok hari. Lalu, di tengah Makkah yang sunyi, ketika penghancuran Ka’bah tampak akan berjalan begitu mudah, rencana Abrahah gagal total.

Gajah yang ada di barisan terdepan diarahkan pemandunya, Unays menuju Ka’bah. Namun ada Nufail, tawanan penunjuk jalan yang mempelajari aba-aba yang dipahami gajah itu. Ketika Unays memberi komando agar sang gajah bangun, Nufail melakukan hal sebaliknya: memintanya duduk berlutut. Pasukan Abrahah melakukan segala cara agar gajah itu bangun, termasuk dengan memukul kepalanya dengan besi. Namun, sang gajah bergeming. Abrahah dan pasukannya tak mungkin bergerak lebih jauh lagi.

Akibat kejadian mendadak ini, pasukan gajah Abrahah berantakan. Tubuh mereka membusuk, ada yang sangat cepat, ada yang perlahan. Semuannya terkena wabah. Dalam kondisi kacau balau, banyak pasukan yang mati di tengah perjalanan pulang, dan banyak pula yang mati begitu sampai di Sana’a termasuk Abrahah. Kegagalan pasukan Abrahah ini di sisi lain membuat kaum Quraisy semakin dikagumi di jazirah Arab. Tuhan mengabulkan doa mereka agar Ka’bah selamat dari kehancuran.

 Peristiwa penyerangan Ka’bah ini juga diabadikan dalam Alquran surah Al-Fiil. Di “Tahun Gajah” itulah, bayi Muhammad lahir dari rahim Aminah binti Wahab bin Abdi Manaf bin Zuhra sebagai anak yatim. Ayahnya, Abdullah bin Abdul Muthalib meninggal dalam perjalanan niaga dari Syam. Abdullah meninggal ketika singgah ke tempat saudara ibunya di Yatsrib. Selepas Aminah melahirkan, Abdul Muthalib amat gembira dan membawa bayi yang baru lahir itu ke Ka’bah, serta memberinya nama Muhammad.

Nama “Muhammad” yang dipilihkan Abdul Muthalib menimbulkan pertanyaan di kalangan kaum Arab Makkah. Ketika diadakan “kenduri” penyembelihan unta selepas 7 hari kelahiran sang bayi, sebagaimana dituliskan Muhammad Husain Haekal dalam Sejarah Hidup Muhammad (1980), orang-orang Quraisy bertanya-tanya kenapa nama bayi itu tidak diambil dari nama-nama nenek moyang mereka. Abdul Muthalib yang menyaksikan kedahsyatan peristiwa “Perang Gajah” dan bantuan serangan dari “langit” lantas menjawab: “Kuinginkan dia [Muhammad] akan menjadi orang yang terpuji bagi Tuhan di langit dan bagi makhluk-Nya di bumi.”

Dalam bahasa Arab, kata “Muhammad” diambil dari kata sifat yang berarti “orang yang terus-menerus terpuji.” Harapan Abdul Muthalib terkabul karena Nabi Muhammad SAW menjadi sosok yang demikian berpengaruh, berbudi pekerti luhur hingga dijuluki Al-Amin (orang terpercaya), dan memperoleh tempat khusus di sejarah dunia.

Dikisahkan bahwa pada malam kelahiran Nabi Muhammad, istana kisra di Persia berguncang hingga 14 ruangannya roboh. Api kaum Zoroaster yang disembah penganut Majusi pun padam. Padahal, api tersebut telah menyala selama 1000 tahun. Kelahiran Nabi Muhammad SAW ini diyakini telah “memadamkan api” penganut Majusi, menandai kemunculan penyampai pesan “ketuhanan” di tengah impitan imperium Romawi dan Persia. Esoknya, air danau Sawah di Persia surut. Beberapa sumber mata air mengering dan rakyat Kisra kebingungan. Seseorang kepercayaan di Kisra bernama Al-Mubidzan bermimpi melihat unta-unta bermuatan berat menuntun kuda-kuda bagus. Unta-unta tersebut berjalan mengarungi sungai Tigris dan sungai Eufrat, lalu menyebar ke sejumlah negerinya.

Mimpi itu ditafsirkan sebagai kelahiran Nabi Muhammad SAW yang menjadi momen besar di seluruh penjuru Arab. Kelahiran Nabi Muhammad juga diyakini membawa berkah bagi orang-orang di sekitarnya. Halimah As-Sa’diyah, diriwayatkan terus menerima keberuntungan, sejak pertama kali ia mengambil bayi Muhammad bin Abdullah sebagai bayi susuannya. Ketika bayi itu disusui, air susu Halimah yang sebelumnya sedikit menjadi deras mengalir. Unta yang ditumpanginya dan sang suami ketika mengambil Muhammad menjadi gemuk dan kuat menempuh perjalanan dari Makkah ke Thaif. Kabilah bani Sa’ad asal Halimah As-Sa’diah juga tak henti-henti dilimpahi keberkahan selepas Muhammad berada di lingkungan mereka.

Kata “Muhammad” diambil dari kata sifat yang berarti “orang yang terus-menerus terpuji.”


Artikel diambil dari berbagai sumber